The Fitness of Discipline

21:41:00

Yang saya maksud pada judul di atas adalah "kebugaran" dari kedisiplinan diri sendiri. Ia adalah tahap lanjutan setelah kita lulus melatih disiplin, dapat konsisten & tekun untuk selalu disiplin serta bertanggung jawab atas tindak disiplin tersebut. Yang dimaksud "kebugaran" ya selayaknya bugar pada tubuh: apakah kedisiplinan itu membuat lebih "sehat", apakah punya ketahanan sekaligus meningkatkan performa atau malah jadi kaku-kaku lalu menghilangkan fleksibilitas?

Saya orang yang pemalas, bahasa gawulnya procrastinating. Setelah menikah dan tidak bekerja kantoran, mendisiplinkan diri adalah tantangan pertama dalam berkarya. Tapi waktu yang tersedia masih sangat berlebih jika dibandingkan sesudah Hayu lahir. Perbandingan waktu:energi:niat harus diiris tipis-tipis agar bisa tertata dan terselip rapi dalam 24 jam. Apalagi setelah membaca artikel tentang relasi procrastinating dan kesehatan mental, maka jawabannya cuma satu: kadar disiplin perlu dibenahi. Dilema yang umum adalah niatnya sudah menggunung (pengen menulis, merajut, masak, bikin bekal, ngepel rumah, menonton variety show, bikin kue) tapi Hayu ingin terus belajar berdiri dengan berpegangan pada ibuk, sedangkan lutut baru saja keseleo. Dilema-dilema yang berderet harus disikapi dengan tegas & trengginas. 

Biasanya yang disarankan untuk kelebihan muatan kegiatan adalah sistem prioritas dan eliminasi berdasarkan tingkat urgensi yang paling lemah. Tapi untuk beberapa alasan, sistem ini tidak lagi cocok untuk saya. Membersihkan popok memang perlu disegerakan, tetapi jika dilakukan tiap malam, maka punggung saya akan nyeri. Menyempatkan menyicil mengupas bawang putih atau merah sebelum tidur tentu sangat membantu saya untuk menyingkat waktu memasak di keesokan hari, tapi hal itu menghilangkan waktu saya untuk merajut. Merajut tidak urgen, tetapi jika saya terlalu sering melewatkan rajutan saya, maka kecepatan & kemampuan merajut pun turun drastis. Grothal-grathul lagi, kembali ke awal. 

Di sini pun saya menyadari bahwa harus membuat klasifikasi yang berbeda: ada hal-hal yang tidak urgen, tetapi harus diberi ruang waktu; ada hal yang urgen, tapi bisa dikurangi kuantitasnya; dan beberapa klasifikasi lain. Teknik Pomodoro yang biasa saya terapkan pun harus disingkirkan karena tak lagi relevan. That's fine, the only thing that is constant is change, seperti kata Heraclitus. 

Saat upaya untuk membagi waktu ini dimulai, saya menemukan foto di feed Instagram saya dengan tajuk menarik: "Make time. Start small. Don't stop." Foto ini diunggah oleh seorang kawan sekaligus seniman berjari lincah, mbak Icha Dechapoe. Jangan hitung keahlian dan kemampuannya, nanti jiper, hehe. Lukisannya selalu indah & memiliki tingkat imajinasi yang menakjubkan. Belum lagi komposisi-komposisi otentik karyanya yang dimainkan lewat tuts piano dan juga desain-desain web yang ciamso. Ciamik soro!

Tajuk itu seakan jadi mantra: 
tidak masalah untuk menjadi kecil, 
asal terus berusaha dan tak berhenti. 

Disiplin, braay!
=)
ikuti karya & feed menarik mbak icha di IG: @dechapoe

You Might Also Like

0 comments