Melantur & World Book Day

15:51:00


Siang ini saya akhirnya berhasil nangkring di c2o setelah (suami sih yang membonceng) berjuang di jalanan menghadapi keruwetan kampanye beberapa partai. Tujuan saya ke c2o adalah mengulik beberapa buku yang sudah jadi incaran karena direkomendasi kawan, lalu mencatat hal yang penting & menyusun agar jadi tulisan yang ciamik. Apa daya, saya terkena nikmat nasi padang sebungkus dengan proporsi nasi & bumbu gulai yang pemurah sekali. Di sinilah saya mulai menulis melantur dan menyerah pada buku-buku tadi. =P

Tapi mau tidak mau saya buka juga salah satunya. Barbara Hatley. Javanese Performances on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change. Alamak, abot nemen rasane. Mata saya mulai kabur karena membaca deretan nama universitas yang biasanya saya temui di ranking top dunia. Aduh. Buku tentang Indonesia kok malah seperti ngece karena kalimat-kalimatnya nggayuh lintang. Tinggi & tak terjangkau.

Saya buka sembari  jengkel, sampai di halaman yang ada tulisan “PERSONAL EXPERIENCE, 1970-90”. Harusnya kalau pengalaman pribadi kan ya tidak terlalu sulit to membacanya. Penulis menceritakan bagaimana ia mulai tertarik dengan Ketoprak, bagaimana ia mulai tertarik dan terikat pada ketoprak.  Sampai pada cerita bagaimana ia mulai tinggal di Yogyakarta untuk memulai penelitiannya. Ia menceritakan bagaimana melewatkan satu malam dengan menghadiri 3 pertunjukan. Hatley menggambarkan dengan detil tempat ia makan malam dengan gado-gado di depan kantor Telkom, dekat Mandala Krida. Berjalan ke Bentara Budaya dimana Jemek (Sapardi) berpantomim malam itu, dilanjutkan perjalanan dengan becak ke arah selatan, di sekitar Keraton, menghadiri jamuan malam dengan pertunjukan tari. Yang terakhir ia menikmati wayang dengan ki Anom sebagai dalangnya. Juga tak jauh dari stadion.

Penjelasan Hatley yang detil membuat memori akan Yogya terputar kembali. Menarik bagaimana  tulisan ini mendadak menjadi intim bagi saya. Bagaimana pengalaman yang ditularkan sebuah buku dapat membuat shared experience terbentuk, termediasi. Semakin membuka lembar demi lembar, saya bertambah penasaran untuk mengajak Hatley duduk bersama di sini, menceritakan besarnya kemungkinan bahwa kami menemui orang-orang yang sama, dengan jarak 12 tahun lewat. Karena ketoprak Tobong yang saya temui di Kalasan juga berasal dari binaan satuan militer di Malang, persis seperti yang diteliti Hatley.

Jika dibilang dunia tak lebih luas dari daun kelor, ya terkadang memang terasa seperti itu. Rantai yang menghubungkan antar manusia sering terasa absurd. Contoh yang tidak jauh-jauh, dari project Ketoprak Tobong misalnya, besar kemungkinan kaket buyut –atau moyang?- saya dan Risang Yuwono, saling mengenal: karena kakek buyut kami sama-sama prajurit Pangeran Diponegoro yang berpisah setelah beliau ditahan Belanda dan babat alas di Kediri untuk melanjutkan keturunan. Menarik ya?

Andai tidak ada sejarah yang dicatat, andai tak ada tulisan yang mendeskripsikan dengan baik, andai tak ada buku yang menularkan pengalaman, maka peradaban manusia pun jauh berbeda. Di bulan April ini, tepatnya di tanggal 23 diperingati World Book Day. Saya jadi ingin menghormati buku dengan menulis perihal buku di kehidupan sehari-hari. Dimulai dengan postingan ini. Hehe.

Yuk, berbagi pengalaman dengan buku! 
=)

You Might Also Like

2 comments

  1. Kamu masih gagal move on ya Vin :P

    Ngomong2 kalao berhubungan dengan ludruk, wawancaranya James Peacock dgn Hatley itu juga penuh curcol :]

    Menanti cerita2 pengalamanmu dengan buku!

    ReplyDelete
  2. Asemik. Kat iki sekali komen gek ngece tenan. =3

    Okeh, akan mencoba melalap Peacock, Hatley, dan konco-konconya.

    Stay tune.... *kedip-kedip*

    ReplyDelete